Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.
Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.
Pengembaraannya mencari ilmu tidak
sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kiai Abdullah, Kiai
Abdul Salam, dan Kiai Siroj), Kudus (Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin),
Sarang Rembang (Kiai Umar Harun), Solo (Kiai Idris), Termas (Kiai
Dimyati), Semarang (Kiai Ridhwan), Jombang (Kiai Hasyim Asy’ari),
Bangkalan (Kiai Kholil), hingga Makkah (Kiai Mahfudz At-Turmusi), dan
kota-kota lain.
Suatu saat, di Semarang, dia tertidur
dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak
hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu
dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi,
yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan
ilmu”.
Di rumahnya sendiri, dia bermimpi
kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang
berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi
semuanya oleh Allah.”
Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:
Walisanga Bertamu
Ada satu kisah karamah lain yang
menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan
orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum.
Namun, karena tuan rumah sedang tidur,
Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan.
Ternyata mereka menolak.
Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.
“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.
“Tidak usah,” ujar mereka serempak lalu pergi.
Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.
Tapi apa lacur, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.
Ketika Ahmad akan melaporkan hal
tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi
tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang
berbicara tadi adalah Sunan Ampel.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.
Beras Melimpah
Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum
memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang
artinya, “Wahai makhluk paling mulia (Muhammad), aku tak ada tempat
untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka
nan besar nanti.”
Syair tersebut dibaca 80 kali,
dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada
dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami
telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”
Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”
Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”
Beberapa hari kemudian, beras seolah
mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang
dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum.
Masih soal beras. Pada kali yang lain,
setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah
Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah
habis.
“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”
“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya.
Jam sebelas siang, datang sebuah becak
membawa beberapa karung beras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel
di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah
Banyuwangi.
Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.
Suatu saat ketika berkunjung ke
Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat
tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di
pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang
kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras?
“DuaTahun Lagi Saya Menyusul”
“Seandainya Paman wafat pada hari ini,
saya akan menyusui dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum
ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari
itu, 11 Desember 1970.
Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi
langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya,
Paman, dua tahun lagi saya akan menyusui.”
Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober
1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum’at di masjid jami’
Lasem, tak jauh dari rumahnya.
Persis seperti ucapannya, menyusui dua tahun setelah pamandanya wafat.
Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”
Kisah lain, sambil memijit badan Mbah
Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih
menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya
terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci
haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu
yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.
Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah
Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar, “Seorang kiai tidak harus
menggunakan peci haji atau sorban. ‘Berdzikir’ kepada Allah bisa
dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau
menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan beberapa bacaan
tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak
sulungku.”
Insya Allah akan Kembali
Ketika dalam perjalanan silaturahim ke
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata di kereta
api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal
itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan
ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca
delapan kali.
“Dengan membaca surah tersebut, insya
Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan
memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.
Ketika rombongan mampir ke rumah Kiai
Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari
kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata,
“Alhamdulillah.”
Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya?”
Dijawab Kiai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”
Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.
Kendaraan Soal Belakang
Kali ini soal dokar. Santri yang
mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Setelah maghrib, sudah menjadi
kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang
berani keluar kecuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma’shum berkata,
“Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”
Ketika itu rombongan Mbah Ma’shum sudah
sampai di sebuah mushalla. Maka shalatlah mereka secara berjama’ah.
Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.
Setelah semua selesai, rombongan pun
melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari
halaman mushalla, lewatlah sebuah dokar kosong. Mereka pun menaikinya.
Subhanallah,…
(Disadur dari Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII)
sumber:http://www.sarkub.com/2012/kisah-karomah-mbah-masum-lasem/
sumber:http://www.sarkub.com/2012/kisah-karomah-mbah-masum-lasem/